Kisah
dan perjuangan Wali Songo Dalam Menyebarkan Agama Islam Di Pulau Jawa (Dalam
Berbagai Versi (Wikipedia, Blog))
1. Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah
nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam
di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota
Gresik, Jawa
Timur.
Tidak terdapat
bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim,
meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribiyang
diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari
wilayah Arab Maghrib di Afrika
Utara.
Babad
Tanah Jawi versi
J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy,
yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia
Tengah, pada paruh
awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota
Gresik, Raffles menyatakan
bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim,
seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan
dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah
negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya
di Desa Lerandi Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah
berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti
makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal
dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik
Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah
SAW, melalui jalur keturunan Husain
bin Ali, Ali
Zainal Abidin,Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah,
Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik
Ibrahim, yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.
Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang
yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali
senior di antara para Walisongo lainnya.\ Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa
orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah
daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu
mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan
mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama
yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan
masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta
dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal
atau pemodal.
Setelah cukup
mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke
ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita
rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut
Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah
banyak orang asing termasuk dari Asia
Barat.
Demikianlah,
dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat
ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan
agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga
diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti
makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan
riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana
Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh
Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Syeh
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di
Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan
Giri. Syeh Jumadil
Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka
berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana Malik Ibrahim ke
Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera
Pasai.
Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau
Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua
putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan
Ampel dan Sayid
Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa,
kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat
kadang-kadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil
dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar
tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk
mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri
tersebut masih kerabat istrinya.
Filsafat
Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana
Malik Ibrahim pernah menyatakan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata:
"Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
Inskripsi dalam
bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
“
|
Ini adalah makam almarhum seorang
yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada
rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat
sekalian para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang
berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal
dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga
menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822
Hijriah.
|
”
|
Saat ini, jalan
yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan
lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.
Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernamaJeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel
adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar
Dwarawati). Dalam catatan Kronik
Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo,
cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab
Hanafi) yang
ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam
Po Bo. Sedangkan
Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan
sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En
Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian
menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di
Jiaotung (Bangil).
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi
Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go
Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V
(aliasBhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui
apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat
Darmo Gandhul, Sunan Ampel
disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri
Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat
dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng),
keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa
dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden
Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit
mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi
permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf.
Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya
karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel
adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya
yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati
Hangrok dengan mangkubuminya Patih
Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (aliasGirindrawardhana alias Brawijaya
VI) telah memerintahkan menterinya Gagak
Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai
kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri
Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut
diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki.
Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai
ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di
wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai
dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra
dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung
tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka
ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut,
tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak
disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit,
Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk
desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi
Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja
Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan
memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah
Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi
kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu
beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh
dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan
Kudus (tepatnya
Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagaiPangeran
Bonang. Raja Bungsu
sendiri disebut sebagai Pangeran
Makhdum.
Silsilah
·
Sunan Ampel @
Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
·
Ahmad Jalaludin
Khan bin
·
Abdullah Khan
bin
·
Abdul Malik
Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
·
Alawi Ammil
Faqih (Hadhramaut) bin
·
Ali Kholi'
Qosam bin
·
Alawi Ats-Tsani
bin
·
Muhammad
Sohibus Saumi'ah bin
·
Alawi Awwal bin
·
Ubaidullah bin
·
Isa Ar-Rumi bin
·
Muhammad
An-Naqib bin
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa
dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung
dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar
Saadah BaAlawi.
Isteri dan Anak
Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng
Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:
3.
Siti Syari’ah/
Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4.
Siti
Muthmainnah
5.
Siti Hafsah
Isteri Kedua
adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera:
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro (alias Haji Bong Tak Keng), dan kedua
anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan
Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja
Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya
dia dijodohkan dengan putri raja Champa (adik Dwarawati), dan lahirlah Raden
Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa
diikuti keluarganya.
Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau
Jawa pada
tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah
seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu
Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila,
putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka
dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
1.
Putri Nyai
Ageng Maloka,
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan
dakwah beliau di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal dengan
Sunan Demak, beliau merupakan putra beliau dari istri dewi Karimah.Sehingga
Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung
tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, Surabaya.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim.
Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa dikabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama
marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan
Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa
Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat
beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seoran g muridnya yang
berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa
jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya
dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada
seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid
dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid
Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
Silsilah
·
Sunan Bonang
(Makdum Ibrahim) bin
·
Ahmad Jalaludin
Khan bin
·
Abdullah Khan
bin
·
Ali Kholi'
Qosam bin
·
Alawi Ats-Tsani
bin
·
Muhammad
Sohibus Saumi'ah bin
·
Alawi Awwal bin
·
Ubaidullah bin
·
Muhammad
Syahril
·
Ali Zainal
'Abidin bin
Karya Sastra
Sunan Bonang
banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa
Jawa, berarti penyembuh
jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Inilah lirik Tamba Ati yang diciptakan oleh Sunan Bonang:
“Tamba ati iku lima sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho salat sunah lakonana
Kaping tilu wong kang soleh
kumpulnana
Kaping papat kudu wetheng ingkang
luwe
Kaping lima zikir wengi ingkang suwe
Sopo wong
bisa ngelakoni, insya allah gusti allah
nyembah dani”
Artinya:
“Obat hati ada lima perkara,
Baca Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan solat malam,
Ketiga orang soleh berkumpul,
Keempat harus berpuasa,
Kelima sering berzikir di waktu
malam,
Siapa saja yang mampu
mengerjakannya, insya allah tuhan allah mengabulkan.”
Ada pula sebuah
karya sastra dalam bahasa
Jawa yang
dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het
Boek van Bonang atau buku
(Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya
Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Beliau juga
menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul
Ghofilin. Kitab setebal 234 hlmn ini sudah sangat populer dikalangan para
santri.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya.
Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau
kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia Alif
Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga
menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk
huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri
huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf
hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan
memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah
mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga
sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia
oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga
Dalam Silat
Tauhid Indonesia
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian
mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan
Ampel, dan bersaudara
dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem
Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau
raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah
menguasai pelajaran islam beliau
menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan
Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan
Demak. Ia diberi
gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden
Patah pada
tahun saka 1442/1520
masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan pribadi.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden
Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai,
beliau mengambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat
sebagai otonom kerajaan
Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat
memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi
lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan
dan menciptakan kemakmuran.
Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat
memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan
agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan
yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden
Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini
terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat.
Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai
berikut :
1.
Memangun resep
tyasing Sasoma (kita
selalu membuat senang hati orang lain)
2.
Jroning suka
kudu éling lan waspada (di dalam
suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3.
Laksmitaning
subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur
kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4.
Mèpèr Hardaning
Pancadriya (kita
harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5.
Heneng - Hening
- Henung (dalam
keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah
kita akan mencapai cita - cita luhur).
6.
Mulya guna
Panca Waktu (suatu
kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7.
Mènèhana teken
marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana
marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada
orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan Drajat kini tersimpan di
Museum Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai
seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan
budaya serta benda-benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan
para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten
Lamongan mendirikan Museum
Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam.Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1
Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk
menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan
penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura Paduraksa senilai Rp.98
juta dan anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Mesjid
Sunan Drajat yang
diresmikan oleh Menteri
Penerangan RI
tanggal 27 Juni 1993. Pada
tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté
serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa
Timur sebesar
RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi
Sudirman tanggal 14
Januari 1994.
5. Sunan Kudus
Sunan
Kudus
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Sebab meninggal
|
Meninggal dalam keadaan bersujud
ketika sholat subuh
|
Tempat tinggal
|
Kudus Jawa Tengah
|
Pekerjaan
|
1. Penasehat Khalifah (Sultan
Demak)
2. Panglima Perang 3. Qadhi 4. Mufti 5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus 6. Mursyid Tarekat 7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan 8. Ketua Pasar Islam Walisongo 9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam 10. Ketua Baitulmal Walisongo |
Tempat kerja
|
Kekhalifahan Islam Demak
|
Dikenal karena
|
Anggota Walisongo yang paling alim
(Waliyyul Ilmi)
|
Gaji
|
7 Dinar Emas (1 Dinar
Emas=24Karat,4.44 gram)/hari
|
Tinggi
|
180 cm
|
Berat
|
81 kg
|
Gelar
|
Waliyyul Ilmi
|
Jangka
|
1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)
|
Pendahulu
|
Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung)
(Ayah)
|
Pengganti
|
Sayyid Amir Hasan (Anak Pertama)
|
Anggota dewan dari
|
|
Agama
|
|
Pasangan hidup
|
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan
Bonang
|
Anak
|
1. Amir Hasan
2. Panembahan Kudus 3. Nyai Ageng Pambayun 4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang) 5. Panembahan Makaos Honggokusumo 6. Panembahan Kadhi 7. Panembahan Karimun 8. Panembahan Jaka 9. Ratu Pajaka 10. Ratu Probodinalar |
Kerabat
|
Syarifah Dewi Sujinah (adik
perempuan/isteri Sunan Muria)
|
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah
putra dari pasangan Sunan
Ngudung (Sayyid
Utsman Haji) [1]dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan
Bonang. Lahir pada 9
September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan
Ngudung adalah
putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja
Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah
di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Jati Diri Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah
az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia
berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan
kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Nasab Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman
Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran
binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari
Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah
terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada
tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat
cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di
tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan
masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya
Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk,
sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan
didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah
menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan
sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah.
Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika
para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk
bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit
kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.”
Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama
Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu
Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu
Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling
disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya
dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya
apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya
harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.”
Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.”
Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh
Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah
untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata
ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya.
Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.”
Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah,
tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.”
Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke
punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat
istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu
dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada
pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga
meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang
begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan
Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan
Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh
teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya
Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu.
Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan
Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu
itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang
itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit
hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang.
Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja
kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu
bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya
adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai
kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa
dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan
seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang
dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali
Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah
Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa
jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus,
Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh
supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak
korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja,
jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju.
Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan
segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana.
Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para
istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga.
Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan
untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun,
menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut
terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tiak ada
yang dapat pergi….”
Asal-Usul Nama
Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga
setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing
sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina
asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal
bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari
Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai
pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk
menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk.
Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama
Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya
kelak.
Kota ini sudah
ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah
tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari
kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di
tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan
bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari
Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya
mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah
ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di
Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
Fakta Mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda
dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat.
Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi
budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi
menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada
pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh
Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi
yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh obyek
pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat
ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam
sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang
berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali
yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata
uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk
apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada
masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami
sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini
kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus.
Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia
yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga
khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549,
berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990)
memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya
dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus
yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan
hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam
memajukan rakyat dan ummatnya
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan
Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai
oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta
merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta
merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara
Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat
pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang
menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus
hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan
umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian
kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah
(tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya
telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali
menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan
pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini
pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat
ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada
Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi
karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu.
Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah
dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah.
Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada
momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak
dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan
yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan
Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda
yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan
tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya
masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas
dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini
terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan
umat Islam (suatu identitas kultural).
Pendidikan Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak
berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu
yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus.
Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang
nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik
simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya,
ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat
itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas
mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa
Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi
berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.
Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far
Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai
penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan
Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang
toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang
berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari
berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran
toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah
arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah
Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap
budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan
Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal
bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa
simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin
banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus.
Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus
melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain
berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga
bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan
relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran
mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama
yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi
budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan
Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan
Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga
dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai
tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan
Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah
Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal
yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam
di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi
beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi
barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali
esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa
mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya
dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid
di desa Kerjasan, Kota
Kudus, yang kini
terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari
Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan
kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan
untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus
hingga saat ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan
Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul
Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
6. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik, Jawa
Timur. Ia lahir
di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia
dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Pemakaman Sunan Giri
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda
mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq,
seorang mubaligh yang datang dari Asia
Tengah. Maulana Ishaq
diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu
penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga
merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain
bin Ali, Ali
Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad
an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah,
Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini(Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy
(Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat
tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan
nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat
Banjar, Pangeran Giri
(alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok
(alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok
melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah
dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah
puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati
Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih
Maudara.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana
Ishaq, seorang
mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu,
Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali
sekarang ini.
Versi lain
menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon
baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri
tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta
kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih
membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak
kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia
diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih.
Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebutJoko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke
Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan
Ampel. Tak berapa
lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari
murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum
Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima
oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal
dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku
atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa.
Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa
Jawa, giri berarti
gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah
satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai keMadura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan
kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan
sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan
Agung.
Terdapat
beberapa karya seni
tradisional Jawa yang
sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah
permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak
Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa)
seperti Asmaradana dan Pucung.
7. Sunan Kalijaga
Kisah sunan kalijaga
(dibaca kalijogo) kali ini menceritakan bertemunya sunan kalijaga dengan seorang
ulama. Ulama inilah yang kelak menjadi gurunya, mengajari pemahaman agama yang
lebih benar. yang bisa menegurnya bahwa bersedekah dengan hasil
mencuri itu merupakan cara yang tidak benar.
Sunan Kalijaga Menjadi perampok yang budiman
Cerita sunan
kalijaga, Setelah diusir oleh ayahnya dari kadipaten tuban seperti yang diceritakan sebelumnya, raden syahid mengembaran tanpa tujuan yang
pasti. Pada akhirnya, ia menetap di hutan jatiwangi. Selamat bertahun-tahun ia
menjadi perampok budiman di hutan itu. Mengapa ia disebut perampok yang
budiman? karena hasil rampokannya tidak pernah dimakannya, namun diberikan
kepada yang membutuhkan.
Tindakan raden syahid
tidak berbeda seperti yang dilakukannya dulu, yaitu merampok lalu kemudian
memberikan hasil rampasan kepada fakir miskin. Tentu saja orang yang
dirampoknya adalah mereka para hartawn atau orang kaya raya yang kikir, orang
yang tidak pernah menyantuni rakyat jelata, dan orang yang tidak mau membayar
zakat. Di hutan, jatiwangi, ia membuat nama aslinya. Dan orang menyebutnya
sebagai brandal lokajaya.
Raden Syahid bertemu Sunan Bonang
cerita sunan kalijaga
– Pada suatu hari, ada seorang yang berjubah putih lewat hutan jatiwani. Raden
syahid sudah mengincarnya dari kejauhan. Orang itu membawa sebatang tongkat
yang gaganya berkilauan.
“pasti gagang tongkat itu terbuat
dari emas,” perkiraan raden syahid dalam hatinya.
Gerakan orang tua berjubah putih itu terus diawasi raden syahid. Setelah dekat, ia menghadang langkahnya sembari berkata, “orang tua, mengapa kamu memakai tungkat? tampaknya kamu tidak buta karena sepasang matamu masih dapat melihat dengan baik. dan kamu juga masih keliatan segar, serta kuat jika berjalan tanpa tongkat!”
Gerakan orang tua berjubah putih itu terus diawasi raden syahid. Setelah dekat, ia menghadang langkahnya sembari berkata, “orang tua, mengapa kamu memakai tungkat? tampaknya kamu tidak buta karena sepasang matamu masih dapat melihat dengan baik. dan kamu juga masih keliatan segar, serta kuat jika berjalan tanpa tongkat!”
Lelali
berjubah putih itu tersenyum dengan wajahnya yang raman. Dengan suara lembut,
ia berkata, “anak muda. perjalanan hidup
manusia itu tidak menentu. Mereka kadang berada di tempat yang terang, bahkan
mereka kadang berada di tempat gelap. Dengan tongkat ini, aku tidak akan
tersesat bila berjalan dalam kegelapan. ”
“Tapi, saat ini masih siang, saya kira kamu tanpa tongkat ini tidak akan tersesat di hutan ini.” sahut raden syahid.
“Tapi, saat ini masih siang, saya kira kamu tanpa tongkat ini tidak akan tersesat di hutan ini.” sahut raden syahid.
Lelaki
berjubah putih itu kembali tersenyum arif, ia pun berkata, “anak muda, tongkat adalah pegangan sehingga orang hidup haruslah
mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya”
Tampaknya,
berbagai jawaban yang mengandung filosofi itu tidak menggugah hati raden
syahid. Sebenarnya, ia mendengar dan mengakui kebenarannya, tapi perhatiannya
sudah terlanjur tertumpah pada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa
banyak bicara lagi, ia merebut tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih.
Akibat dari perbuatan raden syahid tersebut maka orang berjubah putih itu
jatuh tersungkur karena tongkat itu dicabut dengan paksa.
Dengan
susah payah, orang itu bangun dan sepasang matanya mengluarkan air mata
walaupun tidak ada suari tangis dari mulutnya. Pada saat itu, raden syahid
sedang mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Tongkat itu ternyata bukan
dari emas. hanya gaganya yang terbuat dari kuningan sehingga berkilauan seperti
emas ketika tertimpa cahaya matahari.
Raden
syahid heran melihat orang itu menangis. Ia segera mengulurkan kembali tongkat
itu. “Jangan menangis, aku kembalikan
tongkatmu”, kata arden syahid.
Lelaki itu menjawab “bukan tongkat ini yang aku tangisi”
sembari memperlihatkan beberapa batnag rumput di telapang tangannya ia berkata
lagi “lihatlah, aku telah berbuat dosa
dari kesiasiaan. rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”
“hanya beberapa lembar rumput. kau merasa bedosa? “tanya raden syahid keheranan
“Ya memang berdosa, sebab aku telah mencabutnya tanpa suatu keperluan. Tidak apa apa andaikan rumbut itu digunakan untuk makan ternak. Namun apabila rumbut ini untuk suatu kesia-siaan, maka ini merupakan suatu dosa” jawab lelaki itu
“hanya beberapa lembar rumput. kau merasa bedosa? “tanya raden syahid keheranan
“Ya memang berdosa, sebab aku telah mencabutnya tanpa suatu keperluan. Tidak apa apa andaikan rumbut itu digunakan untuk makan ternak. Namun apabila rumbut ini untuk suatu kesia-siaan, maka ini merupakan suatu dosa” jawab lelaki itu
Mendengar
harl itu, raden syahid agar tergetar atas jawaban yang mengandung nilai
keimanan itu Lelali itu kemudian bertanya
“anak muda, sesungguhnya apa yang kamu cari di hutan ini?
“saya mengintai harta!” jawab raden syahid.
“untuk apa?”
“untuk saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderta kelaparan”
“hmm, sungguh mulia hatimu. sayang caramu mendapatnya keliru”
“orang tua, apa maksudmua?”
“boleh aku bertanya anak muda?”
“silahkan”
“jika kamu mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut raden syahid. “hal itu hanya menambah kotor dan bau pada pakaian itu”
“saya mengintai harta!” jawab raden syahid.
“untuk apa?”
“untuk saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderta kelaparan”
“hmm, sungguh mulia hatimu. sayang caramu mendapatnya keliru”
“orang tua, apa maksudmua?”
“boleh aku bertanya anak muda?”
“silahkan”
“jika kamu mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut raden syahid. “hal itu hanya menambah kotor dan bau pada pakaian itu”
Lelaki
itu tersenyum, “Demikian pula amal yang
kamu lakukan. Kamu bershadaqoh dengan barang yang didapat secara haram. Sebab,
tindakan merampok atau mencuri, sama halnya mencici pakaian dengan air
kencing.”
Mendengar
perkataan orang tua itu. raden syahid tercengang
Lelaki itu masih
melanjutkan perkataannya, “Allah itu
adalah dzat yang baik. dia hanya menerima amal dari barang yang hahal atau
baik”
Raden
syahid semakin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam
hatinya. Betapa kelirunya perbuatannya selama ini. Wajah lelaki berjubah putih
itu dipandangnya sekali lagi. Wajah yang agung dan berwibawa, namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Raden syahid mulai suka dan tertarik pada
lelaki berjubah putih itu.
“Pada
saat ini, banyak hal yang terkait dalam usaha mengentaskan kemiskinan dan
penderitaan rakyat. Kamu tidak bisa mengubahnya hanya dengan memberi para
penduduk miskisn berupa bantuan makanan dan uang. Kamu harus memperingatkan
para penguasa yang zhalim agar mereka mau mengubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang. Kamu juga harus membimbing rakyat agar dapat meningkatkan
taraf kehidupannya!” kata lelaki itu
Raden syahid semakin
terpana. Ucapan sepertilah yang diharapkan selama ini.
“Kalau kamu tidak mau kerja keras dan hanya ingin beramal
dengan cara yang mudah, maka ambillah itu. itu barang halal. Ambilah sesuakmu”
kata lelaki itu sambil menunjuk sebatang pohon aren. Seketika itu, seluruh
buahnya berubah menjadi emas. tentunya hal itu membuat mata raden syahid
terbelalak.
Raden
syahid adalah seorang pemuda sakti. Banyak pengalaman hidup yang telah
dijumpainya. berbagai ilmu aneh telah dipelayarinya. Ia mengira jika orang itua
mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar, orang itu mengeluarkan ilmu sihir, ia
pasti dapat mengatasinya. Setelah raden syahid mengerahkan ilmunya, buah aren
tetap berubah menjadi emas. Orang itu berarti tidak mempergunakan sihir.
Raden
syahid terpukau di tempatnya berdiri. ia mencoba memanjat pohon aren itu. seluruh
buanya benar-benar berubah menjadi emas. Ia ingin mengambil buah anren yang
telah berubah menjadi emas itu. Namun, secara mendadak, buah aren itu rontok
dan berjatuhan sehingga mengenai kepalanya. ia terjerembah ke tanah, lalu roboh
dan pisang.
Ketika raden syahid terbangun dari pingsanannya, maka buah arena yang rontoh itu telah berubah menjadi hijau seperti buah aren pada umumnya. Ia pun segera bangkit berdiri, lalu mencari orang berjubah putih itu. tapi orang yang darinya sudah tidak ada di tempat.
“Ia pasti orang sakti yang berilmu tinggi. Melihat caranya berpakaian, tentu ia berasal dari golongan para ulama atau mungkin seorang wali Allah. Aku harus menyusulnya untuk berguru kepadanya,” pikir dalam hati syahid.
Ketika raden syahid terbangun dari pingsanannya, maka buah arena yang rontoh itu telah berubah menjadi hijau seperti buah aren pada umumnya. Ia pun segera bangkit berdiri, lalu mencari orang berjubah putih itu. tapi orang yang darinya sudah tidak ada di tempat.
“Ia pasti orang sakti yang berilmu tinggi. Melihat caranya berpakaian, tentu ia berasal dari golongan para ulama atau mungkin seorang wali Allah. Aku harus menyusulnya untuk berguru kepadanya,” pikir dalam hati syahid.
Raden
syahid pun mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat. Akhirnya ia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Orang itu
tampak santai melangkahkan kakinya, tapi raden syahid tidak pernah bisa
menyusulnya. Ia jatuh bangun, terseok seok, dan berlari lagi. Demikianlah
setelah tenaganya terkuras habis, ia baru sampai di belakang lelaki berjuba
putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti bukan karena kehadiran Raden Syahid, melainkan di
depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tidak ada jembatan dan sungai itu
tampaknya dalam. Tidak ada apapun ketika ia harus menyebrang.
“tunggu,”
ucap raden syahid ketika melihat orang tua itu hendak
melangkahkan kakinya lagi.
“sudilah tuan menerima saya sebagai murid,” pitanya
“menjadi
muridku?” tanya orang itu sembari menoleh, lanjutnya, “mau belajar apa?”
“apa
saja asal tuan menerima saya sebagai murid”,
kata raden syahid
“berat.
berat sekali anak muda, bersediakah kamu menerima syarat-syaratnya?” tanya
lelaki itu
“saya
bersedia. “jawab raden syahid
Kemudian,
lelaki itu menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden syahid diperintahkan
menungguinya. Ia tidak boleh beranjang dari tempat itu sebelum lelaki itu
kembali menemuinya. Raden syahid bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya, lelaki itu menyebrangi sungai. Sepasang mata raden syahid
terbelalak heran. Sebab, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di
daratan. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah
lelaki itu menghilang dari pandangan raden syahid. Ia duduk bersila dan berdoa
kepada Allah SWT. supaya ditidurkan seperti pada pemuda di gua kahfi ratusan
tahun silam. Doanya pun dikabuilkan Allah SWT. ia dapat tertidur dalam
pertapaannya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir
menutupi seluruh bagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun,
lelaki berjubah puting itu datang menemui raden syahid. Tapi, raden syahid tak
bisa dibangunkan. Ia baru membuka sepasang matanya setelah lelaki itu
mengumandangkan adzan. Tubuh raden syahid dibersihkan dan diberi pakaian baru
yang bersih, kemudian di bawah ke TUban.
Mengapa
ke Tuban? Sebab lelaki berjubah putih adalah sunan bonang. Lalu, Raden syahid
diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkat para wali Allah. DI kemudian hari,
raden syahid dikenal sebagai sunan kalijaya. Kalijaga berarti yang menjaga
sungai. Ada yang mengartikan bahwa sunan kali jaga adalah penjaga aliran
kepercayaan yang hidup pada masa itu. Kata “dijaga” maksudnya supaya aliran itu
tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran islam yang benar.
Kerinduan Sunan Kalijaga terhadap sosok seorang ibu
Cerita
sunan kalijaga, Setelah bertahun tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri
Adipati Wilatika kehilangan gairah hidup. terlebih setelah sauah Adipati tuban
untuk menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tubah membuahkan hasil.
Seketika itu, hati ibu raden syahid berguncang karena perampok itu mengenakan
pakaian dan topeng yang dikenakan oleh Raden Syahid yang dikenakan Raden Syahid
saat ditangkap para para prajurit Tuban. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
sudah terbonkar. Dari pengakuan perampok itu, maka adipati Tuban tahun bahwa
raden syahid tidak bersalah.
Ibu
raden syahid menangis sejadi jadinya. ia telah menyesal mengusir anak yang
sangat disayanginya. Sang ibu tidak pernah tahu bahwa anak yang didambaknnya
sudah kembali ke tuban. Hanya saja anaknya tidak langsung ke istana kadipaten
Tuban. melainkan pergi ke tempat tinggal sunan bonang.
Untuk
mengobati kerinduan terhadap sang ibu, tidak jarang raden syahid mengerahkan
ilmunya yang tinggi untuk membaca al qur an dari jarah jauh. lalu suaranya
dikirim ke istana Tuban. Suara raden syahid yang merdu telah menggetarkan
seluruh dinding istana kadipaten. Bahkan suaranya telah mengguncangkan isi hati
adipati tuban dan istrinya. Tapi raden syahid masih belum menampakkan
diri. Banyak tugas yang harus dikerjakan, di antaranya menemukan kembali
adiknya.
Pada
akhirnya, raden syahid pulang bersama adiknya, Dewi Rasa Wulan. Tak terkira
betapa bahagia adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra dan putri
yang sangat dicintainya. Raden syahid pun ditunjukkan ayahnya untuk
menggantikan kedudukannya. Tetapi, ia tidak bersedia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai adipati Tuban. Ia lebih suka menjalani kehidupan yang
dipilihnya sendiri.
Walaupun
sedikit kecewa, Adipati tuban agar terhibur. Karena suami dewi rasa wulan bukan
orang sembarangan. Empu supa adalah seorang tumenggung Majapahit yang terkenal.
Ia adalah cucu yang lahir dari keturunan Empu. Akhirnya kedudukan adipati tuban
diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra dewi rasa wulan dan empu supa.
Sementara itu raden syahid meneruskan pengembaraannya, ia berdakwah untuk
menyebarkan agama islam di jawa tengah hingga jawa barat.
8. Sunan Muria
Pada cerita
wali songo kali ini akan berisi
tentang cerita
Sunan Muria, beliau merupakan salah
satu wali yang tinggal di daerah Gunung muria. Selain akhlak yang sholeh,
beliau terkenal memiliki kesaktian dalam peraturangan. Mau tahu cerita sunan muria secara detail? silahkan simak kisahnya
lengkap nya di bawah ini
Cerita Sunan Muria
Sunan
muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Nama asli dari Sunan
Muria adalah Raden Umar Syahid. Dalam melakukan dakwah, iya menggunakan cara
yang seperti ayahnya gunakan. yaitu dengan cara yang halus. Ibarat mengambil
ikan, tetapi sangan sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuhnya
untuk menyiarkan agama islam di sekitar gunung muria. Tempat tinggal sunan
muria memang di puncak gunung muria; yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Gunung tersebut terletak di sebelah utara kota kudus.
Sasaran
dakwah dari Sunan Muria adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat
jelata. Ia adalah satu-atunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan islam. Dan, ia juga yang
telah menciptakan berbagai tembang jawa. Tempat dakwahnya berada di sekitar
gunung muria, kemudian dakwahnya diperlua meliputi Tayu, Juwana, kudus, dan
lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria karena tinggal di
gunung
Kisah Kesaktian Sunan Muria
Sunan
muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat
karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter.
Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap
hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah
kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hak itu tidak dapat
dilakukannya tenpa fisik yang kuat.
Bukti
bahwa sunan muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah
perkawinan sunan murida dengan dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri
Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, yang bertempat tinggal di juana, pati jawa tengah. Demikian sakti
sunan ngerang sehingga sunan muria dan sunan kudus sampai berguru kepadanya.
Dalam cerita sunan muria,
pada suatu hari, sunan ngerang mengadakan syukuran atas usia dewi roroyono yang
telah genang dua puluh tahun. Semua muridnya diundang, seperti sunan muria,
sunan kudus, adipati pathak warak, kapa dan adiknya gentiri. Tetangga dekat
juga diundang, demikian pula sanak saudara yang dari jauh. Setelah tamu
berkumpul, dewi Roroyono dan adiknya, dewi roro pujiwati, keluar menghidangkan
makanan dan minuman. Keduanya adalah para dara yang cantik rupawan, terutama
dewi roroyono yang bersuaia dua puluh tahun. Ia bagaikan bunga yang sedang
mekar.
Bagi
sunan kudus dan sunan muria yang sudah berbekal ilmu agama, dapat menahan
pandangan mata, sehingga mereka tidak terseret oleh godaan setan. Tapi, seorang
murid sunan ngerang yang lain, yaitu Adipati Pathak warak memandang dewi
royoyono dengan mata tidak berkedip karena melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid sunan ngerang ketika pathak warak belum menjadi
adipati, dewi roroyono masih kecil dan kecantikannya yang mempesonan belum
tampak. Tetapi, sekarang, gadis itu sangat membuat adipati pathak warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus. Akibat dibakar api asmara yang menggelora, ia tidak tahan lagi. Ia pun
menggoda dewi roroyono dengan berbagai ucapan yang tidak pantas, bahkan
bertindak kurang ajar.
Tentu
saja, dewi merasa malu sekali, terutama ketika adipati pathak warak berlaku
kurang ajar dengan memegangi bagian tubuhnya yang tidak pantas disentuh. Si
gadis pun naik pitam, sehingga nampan berisi minuman yang dibawahnya sengaja
ditumpahkan ke pakaian sang adipati. Maka adipati pathak warak
menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi ia
pun semakin malu karena melihat para tamu menetawakan kekonyolan.
Dewi
Roroyono hampir saja ditampar oleh adipati pathak warak kalau ia tidak ingat
bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Lalu, Dewi Rorooyono masuk ke dalam
kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh pathak
warak. Pada malam hari, para tamu yang rumahnya dekat sudah pulang ke tempat
masing-masing. Adapun tamu yang datang dari jauh terpaksa menginap di rumah
sunan ngerang, termasuk pathak warak san sunan murid. Namun, pathak warak belum
dapat memejamkan matanya hingga lewat tengah malam. Kemudian, ia bangkit dari
tidurnya dan mengendap-ngedap ke kamar dewi roroyono.
Dewi
roroyono dibius sehingga tak sadarkan diri, kemudian pathak warak turun
melewati genteng dan mebawanya lari menuruni jendela. Dewo Roroyono dibawa lari
ke mandalika, wilayah keling atau kediri. Setelah sunan ngerang mengetahui
bahwa putrinya diculik oleh pathak warak, maka ia berikrar bahwa orang yang
berhasil membawa putrinya bila perempuan akan dijadikan saudara dewi roroyono.
Dan jika laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya.
Tak
ada seorang pun yang menyatakan kesanggupannya. Sebab, semua orang telah maklum
akan kehebatan dan kekejaman pathak warak. Hanya sunan muria yang bersedia
memenuhi harapan sunan ngerang.
“saya akan berusaha mengambil diajeng Roroyono dari tangan pathak warak,” kata sunan muria
“saya akan berusaha mengambil diajeng Roroyono dari tangan pathak warak,” kata sunan muria
Di
tengah perjalanan, sunan muria bertemu dengan kapa dan gentiri, adik
seperguruan, yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Keduanya
merasa heram melihat sunan muria berlari cepat menuju ke arah daerah keling.
“Mengapa kakang tampak tergesa-gesa?” tanya kapa
“Mengapa kakang tampak tergesa-gesa?” tanya kapa
Sunan
muria pun menceritakan penculikan dewi roroyono yang dilakukan oleh pathak
warak. Kapa dan gentiri sangat menghormati sunan muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Lantas, keduanya menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria
merebut kembali dewi Roroyono.
“Sebaiknya, kakang pulang ke padepokan gunung Muria. Para murid sangat membutuhkan bimbingan kakang. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng roroyono kembali. Kalau berhasil, kakang tetap berhak menikahnya, kami hanya membantu,” kata kapa.
“Aku masih sanggung merebutnya sendiri,” ujar sunan muria
“Itu benar, tapi, membimbing orang memperdalam agama islam juga lebih penting, percalah, kami pasti sanggup merebutnya kembali” kata kapa bersikeras
“Sebaiknya, kakang pulang ke padepokan gunung Muria. Para murid sangat membutuhkan bimbingan kakang. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng roroyono kembali. Kalau berhasil, kakang tetap berhak menikahnya, kami hanya membantu,” kata kapa.
“Aku masih sanggung merebutnya sendiri,” ujar sunan muria
“Itu benar, tapi, membimbing orang memperdalam agama islam juga lebih penting, percalah, kami pasti sanggup merebutnya kembali” kata kapa bersikeras
Akhirnya,
sunan muria mengambulkan permintaan adik seperguruannya. Ia merasa tidak enak
menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula, ia harus menengok para
santrinya di padepokan gunung muria. Untuk merebut dewi roroyono dari tangan
pathak warak, ternyata kapa dan gentiri meminta bantuan seorang wiku lodhang di
pulau sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti dan tidak ada tandingannya.
Usaha mereka berhasil sehingga dewi roroyono dikembalikan kepada Sunan Ngerang.
Hari berikutnya, sunan muria hendak pergi menghadap sunan ngerang untuk
mengetahui perkembangan usaha kapa dan gentri. Di tengah perjalanan, ia
bertemua dengan adipati Pathak warak.
“hai pahtak warak, berhenti kamu” bentak sunan muria
“hai pahtak warak, berhenti kamu” bentak sunan muria
Patahak
warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena sunan muris menghadang di
depannya.
“Minggi, jangan menghalangi jalanku!
” Hardik pathak warak“Boleh asal kamu kebalikan Dewo Roroyono”“Minggi, jangan menghalangi jalanku!
“Goblok! Roroyono sudah di bawa kapa dan gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka”! umpat pathak warak.
“untuk apa kamu mengejar merek?”
“merebutnya kembali” jawab pathak warak dengan sengit
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar sunan muria sambil pasang kuda-kuda
tanpa
basa basi maka pathak warak melompat dari punggung kuda. Ia menyerang sunan
muria dengan jus cakar harimau. Tapi, ia bukan tandingan putra sunan kalijaga
yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, pathak
warak telah jatuh atau roboh di tanah. Seluruh kesaktiannya lenyap, bahkan ia
menjadi lumpuh dan tidak mampu untuk berdiri apalagi berjalan.
Sunan muria pun meneruskan perjalanan ke juana. Kedatangannya disambut gembira oleh sunan ngerang. Sebab, kapa dan gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendiri yang memaksa mengambil alih tugas sunan muria mencari roroyono. Pada akhirnya, sunan ngerang menjodohkan dewi roroyono dengan sunan muria.
Sunan muria pun meneruskan perjalanan ke juana. Kedatangannya disambut gembira oleh sunan ngerang. Sebab, kapa dan gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendiri yang memaksa mengambil alih tugas sunan muria mencari roroyono. Pada akhirnya, sunan ngerang menjodohkan dewi roroyono dengan sunan muria.
Upacara
pernikahan pun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri berjasa besar diberi
hadiah tanah di desa buntar. Dengan hadiah itu keduanya menjadi orang kaya yang
kehidupan mereka serba kecukupan. Sementara itu, sunan muria segera memboyong
istrinya ke padepokan gunung muria. Mereka hidup bahagia karena merupakan
pasangan ideal.
Tidak
demikian halnya dengan kapa dan gentiri. Sewaktu membawa dewi roroyono dari
keling ke ngarang, agarknya mereka terlanjut terpesonan oleh kecantikan wanita
jelita itu. Siang dan malam, mereka tidak dapat tidur. Wajah wanita itu
senantiasa terbayang. Namun, wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya
sehingga mereka tidak dapat berbuat apapun.
Hanya
penyesalan yang menghujam di dada mereka. Mengapa dulu mereka terburu-buru
menawarkan jasa baik mereka? Betapa enak sunan muria sekarang tanpa bersusah
payah, ia telah menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan mata dan
menjaga kehormatan mereka. Adai kata kapa dan gentiri tidak menatap terus ke
arah wajah dant ubuh dewi roroyono yang indah, mereka pasti tidak akan
terpesonan dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkat pada pandangan
mata.
Kini,
kapa dan gentiri telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut dewi
roroyono dari tangan sunan muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikanya
sebagai sitri kedua secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri
beerangkat terlebih dulu ke gunung muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan
niatnya, justru kepergok oleh para murid sunan muria sehingga terjadi
pertempuran dahsyat. Suasana menjadi panas ketika sunan muria keluar
menghdapati gentiri. Akhirnya, gentiri tewas menemui ajalnya di puncak gunung
muria.
Kematian
gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi, berita itu tidak membuat surut
niat kapa. Sebab, kapa cukup cerdik sehingga ia datang ke gunung muria secara
diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Pada saat itu,
kebetulan sunan muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke demak
bintoro. Kapa membius para murid sunan muria yang berilmu rendah yang
ditugaskan menjaga dewi roroyono, kemudian kapa menculik dan membawa wanita
impiannya ke pulai sprapat dengan mudah.
Pada
saat yang sama, sunan muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang
Datuk di pulau sprapat sepulang dari demak bintoro. Ini biasa dilakukannya,
yakni bersahabat dengan pemeluk agama lain. Dan, itu bukanlah suatu dosa,
terlebih lagi sang wiku pernah menolongnya merebut dewi roroyono dari pihak
pathak warak.
Seperti
ajaran sunan kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
dalam suatu negeri. Sunan muria pun menunjukkan akhlak islam yang mulia dan
agung. Sunan muria bukan berdebat tentang perbedaan agama itu. Dengan
menerapkan akhlak yang mulia itu, banyak pemeluk agama lain yang akhirnya tertarik
dan masuk islam secara suka rela. Sementara itu, kedatangan kapa ke pulau
sprapat ternyata tidak disambut baik oleh wiku lodhang datuk.
“Memalukan, benar benar nista perbuatanmu itu, cepat
kembalikan istri kakanda seperguruanmu!” Hardik wiku lodhang datuk
dengan marah.
“bagaimana bapa guru ini? Bukankah aku ini adalah muridmu? Mengapa kamu tidak membelaku?
” Protes kapa.“Apa? Membela perbuatan durjana?”
bentak wiku lodhank datuk“bagaimana bapa guru ini? Bukankah aku ini adalah muridmu? Mengapa kamu tidak membelaku?
“sampai mati pun, aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti, walaupun pelakunya itu muridku sendiri!” katanya
Perdebatan
antara guru dan murid tersebut berlangsung lama. Tanpa mereka sadari, ternyata
sunan muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejut ketika sunan muria
melihat istrinya sedang tergolek di tangah dengan kaki dan tangan terikat.
Sementara itu, ia juga melihat kapa sedang bertengkar dengan gurunya yaitu Wiku
lodhang datuk. Lalu, wiku loadhang melangkah menuju dewi roroyono untuk
membebaskannya dari belenggu yang dilakukan oleh kapa.
Ketika
sang wiku selesai membuka tali yang mengikat tubuh dewi roroyono, tiba tiba
terdengar jeritan keras dari mulut kapa secara bersamaan. Ternyata serangan
yang dilakukan kapa dengan mengerahkan aji kesaktian berbalik menghantam
dirinya sendiri. Itula ilmu yang dimiliki sunan muria. Ia mampu mengembalikan
serangan lawan. Sebab, kapa mempergunakan aji pamungkas, yaitu puncak kesaktian
yang dimilikinya, maka ilmu itu akhirnya merengut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya Tuan wiki,” sunan muria agak menyesal
“tidak mengapa, ia sudah sepantasnya menerima hukuman ini. Aku sangat menyesal karena telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata, lmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” gumam sang wiku.
“tidak mengapa, ia sudah sepantasnya menerima hukuman ini. Aku sangat menyesal karena telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata, lmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” gumam sang wiku.
Dengan
langkah gontai, sang wiku mengangkat jenazah muridnya. Kapa adalah muridnya
apaun yang terjadi. Pantaslah, kalau ia menguburkannya secara layak. Pada
akhirnya, dewi roroyono dan sunan muria kembali ke padepokan dan hidup
berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Kisah
wali songo kali ini akan
mengulas tentang cerita Sunan gunung jati, Ia merupakan salah satu dari
wali songo yang berdakwah di jawa barat. Sebenarnya sebelum sunan gunung jati
berdakwah di jawa barat itu, sudah ada seorang ulama dari Baghdad, irak yang
dating ke daerah Cirebon bersama dua puluh orang muridnya. Ulama besar itu
bernama Syekh kahfi. Ia adalah ulama yang lebih dulu menyiarkan agama islam di
sekitar cirebon.
Cerita Sunan Gunung Jati
Suatu
hari dikisahkan bahwa putra prabu siliwangi dari pajajaran bernama pangeran
walangsungsang dan adiknya bernama rara santang, mendapat mimpi yang sama pada
suatu malam. Mimpi tersebut terulang-ulang sampai tiga kali. Mereka bermipi
bertemu dengan Nabi Muhammad saw yang mengajarkan agama islam.
Wajah
nabi Muhammad saw yang agung dan cara menerangkan islam sangat mempesona,
sehingga membuat keduanya merasa rindu. Tapi, mimpi itu hanya terjadi tiga
kali. Sebagaimana orang kehausan, keduanya ingin mereguk air lebih banyak lagi.
Dan air yang menyejukkan jiwa mereka adalah agama islam.
Mereka
juga kebetulan mendengar keberadaan Syekh Kahfi atau biasa disebut syekh datuk
kahfi membuka perguruan islam di cirebon. Mereka mengutarakan maksud mereka
kepada prabu silliwangi untuk berguru kepada syekh kahfi. Mereka ingin
memperdalam agama Islam seperti ajaran nabi Muhammad saw. Tapi keinginan mereka
ditolah oleh prabu siliwangi.
Pangeran walangsungsang dan adiknya tetap nekat. Kemudian
keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada syekh kahfi si
gunung jati. Setelah berguru beberapa lama di gunung jati, pangeran
walangsungsang diperintahkan oleh syekh kahfi utuk membuka hutan di bagian
selatan gunung jati. Sesungguhnya, ia adalah seorang pemuda sakti. Maka, tugas
itu pun mampu diselesaikannya dalam beberapa hari.
Daerah itupun dijadikan pedukuhan yang semakin hari semakin
banyak orang berdatangan untuk menetap dan menjadi pengikut pangeran
walangsungsang. Setelah daerah itu ramai, ia diangkat sebagai kepala dukuh
dengan gelar cakrabuana. Lalu, daerah tersebut dinamakan tegal alang-alang.
Orang yang menetap di tegal alang-alang terdiri atas berbagai
ras atau keturunan. Banyak pedagang asing yang menjadi penduduk setempat,
sehingga terjadilah pembauran berbagai ras dan percampuran dalam bahasa sunda.
Akibatnya, tegal alang-alang disebut caruban.
Sebagai besar rakyat caruban bermata pencarian pencari udang,
yang kemudian dibuat menjadi petis yang terkenal. Dalam bahas asunda, petis
udang disebut “cai rebon”. Kemudian, daerah caruban lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang. Setelah dianggap memenuhi syarat, pangeran cakrabuana dan
rara santang diperintah oleh syekh kahfi untuk melaksanakan ibadah gaji ke
tanah suci.
Mereka berdua berangkat ke Makkah. Sesampainya di kota suci
makkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama bersar bernama
Syaikh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan thawaf
mengelilingi Ka’bah, keduany bertemu dengan seorang raja mesir bernama Sultan
Syatif Abdullah yang sedang menjalani ibadah haji. Raja mesir itu tertarik pada
wajah rara santang yang mirip almarhumah istrinya.
Sesudah ibadah haji, raja mesir itu melamar rara santang pada
syekh bayanillah. Rara santang dan kakaknya, pangeran cakrabuana, tidak
keberatan. Maka pernikahan mereka dilangsungkan sesuai Madzhab Syafi’i.
Kemudian, nama rara santang diganti menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan
tersebut, lahirlah syarif Hidayatullah yang kemudian mendapat sebutan sunan
gunung jati dan syarif Nurullah, adiknya.
Pangeran cakrabuana berkesempatan tinggal di mesir selama
tiga tahun. Kemudian ia pulang ke jawa dan mendirikan negeri caruban larang.
Negeri itu adalah perluasan dari daerah Cirebon, tetap pola memerintahannya
menggunakan azas Islam. Dalam waktu singkat, negeri tersebut terkenal ke
seluruh tanah jawa, bahkan terdengar pula oleh prabu siliwangi, selaku penguasa
daerah jawa barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin oleh
putranya sendiri, maka sang raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan.
Akhirnya, sang prabu merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan ia
memberinya gelar Sri Manggana.
Dalam usia muda, syarif hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja mesir. Tapi
anak mudah yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Ia dan
ibunya bermaksud untuk pulang ke tanah jawa untuk berdakwah di jawa barat.
Kemudian, kedudukannya diberikan kepada adiknya, yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu
berada di mesir, syarif hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di
daratan timur tengah. Dalam usia sangat muda, ilmunya sudah sangat banyak. Maka,
ia tidak merasa kesulitan untuk melakukan dakwah ketika pulang ke tanah
leluhurnya, yaitu jawa.